Sebelum melihat kabar ekonomi mengenai bagaimana prospek dan potensi terulangnya krisis seperti pada tahun 1997-1998, ada baiknya kita melihat terlebih dahulu asal mula atau indikasi terjadinya krisis pada tahun 1997-1998.
Krisis 1997 Bermula dari Thailand
Krisis finansial yang melanda Asia pada tahun 97-98 bermula dari ulah spekulan terhadap mata uang Thailand, yakni Baht. Pada bulan Mei 1997, Baht terkena serangan para spekulan, namun pemerintah Thailand memutuskan untuk tidak akan mendevaluasi mata uangnya.
Namun untuk mempertahankan nilai mata uangnya, diperlukan cadangan devisa yang besar dan cadangan devisa dari Thailand pada saat itu ternyata tidak kuat untuk mendukung sistem mata uang “mengambang terkendali” yang dianut Thailand, sehingga pada bulan Juli 1997 akhirnya pemerintah Thailand harus mengubah sistem mata uangnya menjadi free-float market.
Pada akhirnya, mata uang Thailand Baht terdevaluasi tajam terhadap US Dollar dan mencapai angka terendah senilai 56 Baht per 1 USD pada bulan Januari 1998.
Hal inilah yang menjadi awal mula krisis finansial di Thailand, yang pada akhirnya menyebar ke beberapa negara Asia lainnya, salah satunya adalah Indonesia yang terkena imbasnya secara sangat signifikan.
Spekulan Merajalela, Indonesia Terancam
Saat ini, ulah spekulan tampaknya kembali menampakkan dirinya, seiring dengan glontoran dana stimulus secara besar-besaran oleh AS dalam rangka menanggulangi krisis pada tahun 2008 silam, negara-negara berkembang di Asia tidak terkecuali Indonesia telah kebanjiran “hot money” atau “uang panas”.
Namun saat ini, indikasi cukup kuat bahwa bank sentral AS akan mulai menarik program stimulusnya, sehingga hal ini membuat para spekulan berbondong-bondong menarik investasinya dari Indonesia. Ulah spekulan inilah yang akhirnya mengakibatkan mata uang Rupiah terdevaluasi tajam saat ini.
Baru spekulasi saja, Rupiah sudah tersungkur, apalagi jika The Fed nanti memang jadi melaksanakan rencana penarikan program stimulusnya pada bulan September 2013 mendatang, maka tidak menutup kemungkinan kalau nasib mata uang Rupiah akan cukup mengenaskan. Hingga akhir bulan Agustus 2013 ini, nilai spot Rupiah saja sudah diperdagangkan di kisaran Rp 10.945 per USD.
Layaknya seperti Thailand pada tahun 1997, cadangan devisa dari Indonesia saat ini dinilai tidak akan kuat untuk menopang pelemahan nilai tukar Rupiah secara terus menerus. Dibulan Juni 2013 saja, cadangan devisa Indonesia sudah menurun ke bawah level 100 miliar USD dan di bulan Juli 2013 dilaporkan sudah menyusut hingga tersisa sekitar 92 miliar USD.
Jika Rupiah terus terdevaluasi, maka ekonomi Indonesia akan kembali terancam dilanda krisis, terutama perusahaan-perusahaan dalam negeri yang mempunyai utang yang besar dalam bentuk US Dollar. Jika perusahaan-perusahaan tersebut pada akhirnya banyak yang bangkrut, hal ini akan berakibat melonjaknya tingkat pengangguran secara signifikan dan mengikis daya beli masyarakat.
Pada akhirnya, hal tersebut berujung ke tidak berputarnya roda perekonomian, dengan kata lain terjadi krisis ekonomi.
Sebagai informasi, sebelum krisis tahun 1997 terjadi, nilai tukar Rupiah berada di kisaran 2600 Rupiah per USD. Krisis yang bermula dari Thailand ini akhirnya mengakibatkan Rupiah jatuh hingga ke level 11000 Rupiah per USD pada 9 Januari 1998, bahkan nilai spot Rupiah sempat diperdagangkan pada kisaran 15000 per USD pada paruh pertama tahun 1998.
Krisis finansial ini mengakibatkan Indonesia kehilangan hampir 14% dari GDP-nya di tahun 1998 dan terjadi inflasi besar-besaran hingga mencapai 77% di tahun 1998.
Maka kesimpulannya, sangat penting saat ini bagi pemerintah Indonesia untuk menciptakan kebijakan-kebijakan yang efektif dalam rangka stabilisasi nilai tukar Rupiah. Jika pemerintah Indonesia gagal mempertahankan Rupiah, seperti Thailand pada tahun 1997 yang gagal mempertahankan mata uangnya, maka tidak menutup kemungkinan krisis layaknya seperti tahun 1997-1998 bisa saja kembali terjadi di tanah air.Sebelum melihat bagaimana prospek dan potensi terulangnya krisis seperti pada tahun 1997-1998, ada baiknya kita melihat terlebih dahulu asal mula atau indikasi terjadinya krisis pada tahun 1997-1998.
Krisis 1997 Bermula dari Thailand
Krisis finansial yang melanda Asia pada tahun 97-98 bermula dari ulah spekulan terhadap mata uang Thailand, yakni Baht. Pada bulan Mei 1997, Baht terkena serangan para spekulan, namun pemerintah Thailand memutuskan untuk tidak akan mendevaluasi mata uangnya.
Namun untuk mempertahankan nilai mata uangnya, diperlukan cadangan devisa yang besar dan cadangan devisa dari Thailand pada saat itu ternyata tidak kuat untuk mendukung sistem mata uang “mengambang terkendali” yang dianut Thailand, sehingga pada bulan Juli 1997 akhirnya pemerintah Thailand harus mengubah sistem mata uangnya menjadi free-float market.
Pada akhirnya, mata uang Thailand Baht terdevaluasi tajam terhadap US Dollar dan mencapai angka terendah senilai 56 Baht per 1 USD pada bulan Januari 1998.
Hal inilah yang menjadi awal mula krisis finansial di Thailand, yang pada akhirnya menyebar ke beberapa negara Asia lainnya, salah satunya adalah Indonesia yang terkena imbasnya secara sangat signifikan.
Spekulan Merajalela, Indonesia Terancam
Saat ini, ulah spekulan tampaknya kembali menampakkan dirinya, seiring dengan glontoran dana stimulus secara besar-besaran oleh AS dalam rangka menanggulangi krisis pada tahun 2008 silam, negara-negara berkembang di Asia tidak terkecuali Indonesia telah kebanjiran “hot money” atau “uang panas”.
Namun saat ini, indikasi cukup kuat bahwa bank sentral AS akan mulai menarik program stimulusnya, sehingga hal ini membuat para spekulan berbondong-bondong menarik investasinya dari Indonesia. Ulah spekulan inilah yang akhirnya mengakibatkan mata uang Rupiah terdevaluasi tajam saat ini.
Baru spekulasi saja, Rupiah sudah tersungkur, apalagi jika The Fed nanti memang jadi melaksanakan rencana penarikan program stimulusnya pada bulan September 2013 mendatang, maka tidak menutup kemungkinan kalau nasib mata uang Rupiah akan cukup mengenaskan. Hingga akhir bulan Agustus 2013 ini, nilai spot Rupiah saja sudah diperdagangkan di kisaran Rp 10.945 per USD.
Layaknya seperti Thailand pada tahun 1997, cadangan devisa dari Indonesia saat ini dinilai tidak akan kuat untuk menopang pelemahan nilai tukar Rupiah secara terus menerus. Dibulan Juni 2013 saja, cadangan devisa Indonesia sudah menurun ke bawah level 100 miliar USD dan di bulan Juli 2013 dilaporkan sudah menyusut hingga tersisa sekitar 92 miliar USD.
Jika Rupiah terus terdevaluasi, maka ekonomi Indonesia akan kembali terancam dilanda krisis, terutama perusahaan-perusahaan dalam negeri yang mempunyai utang yang besar dalam bentuk US Dollar. Jika perusahaan-perusahaan tersebut pada akhirnya banyak yang bangkrut, hal ini akan berakibat melonjaknya tingkat pengangguran secara signifikan dan mengikis daya beli masyarakat.
Pada akhirnya, hal tersebut berujung ke tidak berputarnya roda perekonomian, dengan kata lain terjadi krisis ekonomi.
Sebagai informasi, sebelum krisis tahun 1997 terjadi, nilai tukar Rupiah berada di kisaran 2600 Rupiah per USD. Krisis yang bermula dari Thailand ini akhirnya mengakibatkan Rupiah jatuh hingga ke level 11000 Rupiah per USD pada 9 Januari 1998, bahkan nilai spot Rupiah sempat diperdagangkan pada kisaran 15000 per USD pada paruh pertama tahun 1998.
Krisis finansial ini mengakibatkan Indonesia kehilangan hampir 14% dari GDP-nya di tahun 1998 dan terjadi inflasi besar-besaran hingga mencapai 77% di tahun 1998.
Maka kesimpulannya, sangat penting saat ini bagi pemerintah Indonesia untuk menciptakan kebijakan-kebijakan yang efektif dalam rangka stabilisasi nilai tukar Rupiah. Jika pemerintah Indonesia gagal mempertahankan Rupiah, seperti Thailand pada tahun 1997 yang gagal mempertahankan mata uangnya, maka tidak menutup kemungkinan krisis layaknya seperti tahun 1997-1998 bisa saja kembali terjadi di tanah air.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar