Senin, 30 September 2013

Ekspor dan Impor Nonmigas ke Korea Selatan Mengalami Peningkatan

Berita ekonomi hari ini datang dari perkembangan ekspor nonmigas ke negara tujuan Korea Selatan menurut laporan Biro Pusat Statistik (BPS) terkini menunjukkan kenaikan yang ditunjukkan dengan adanya peningkatan pada nilai ekspor nonimgas ke negara tersebut. Nilai pada bulan Juli dilaporkan dapat mencapai nilai 500.6 juta Dollar AS .

Sementara itu kinerja ekspor nonmigas pada bulan sebelumnya hanya mencapai nilai 491.3 juta Dollar AS. Dengan demikian kinerja ekspor nonmigas pada periode tersebut mengalami kenaikan sebesar + 9.30 juta Dollar AS, atau mengalami penambahan sebesar + 1.89 %.

Laporan terkini dari Biro Pusat Statistik juga menunjukkan bahwa ekspor nonmigas dari awal tahun ini sampai bulan Juli secara total mencapai nilai 3615 juta Dollar AS. Data tersebut menunjukkan adanya penurunan sebesar -431.6 juta Dollar AS atau turun sekitar -10.66 %, dimana pada periode yang sama tahun lalu hanya mencapai nilai 4046.6 juta Dollar AS.

Impor nonmigas dari negara asal Korea Selatan menurut laporan Biro Pusat Statistik (BPS) terkini menunjukkan kinerja yang meningkat. Hal itu ditunjukkan dengan adanya kenaikan pada nilai impor nonmigas dari negara tersebut dimana nilai pada bulan Juli dapat mencapai angka 791.9 juta Dollar AS (CIF).

Laporan terkait juga menyebutkan bahwa impor nonmigas dari negara terkait hanya mencapai nilai 688.3 juta Dollar AS . Dengan demikian kinerja impor nonmigas pada periode Januari – Juli mengalami kenaikan sebesar + 103.6 juta Dollar AS, atau sekitar + 15.05 %.

Data paling akhir dari BPS juga menunjukkan bahwa impor nonmigas dari awal tahun ini sampai bulan Juli secara total mencapai angka 5455.7 juta Dollar AS. Laporan tersebut menunjukkan adanya kenaikan sebesar + 487.8 juta Dollar AS atau sekitar + 9.81 %, dimana pada periode yang sama tahun lalu hanya mencapai nilai 4967.9 juta Dollar AS.

Analisa ekonomi Vibiz Research dari Vibiz Consulting mengemukakan bahwa pada analisa kurs BI hari ini Won Korea Selatan terpantau bergerak menguta tajam sekitar 17.83 % terhadap mata uang Rupiah pada perdagangan valas dari awal Januari sampai dengan hari ini. Adapun kurs BI (jual) Won Korea Selatan dengan rate Bank Indonesia berada pada kisaran Rp. 10.77/KRW dan kurs BI (beli) sekitar Rp. 10.66/KRW.

Rabu, 25 September 2013

Ekspor dan Impor Nonmigas ke AS Menunjukkan Sinyal Positif

Berita ekonomi hari ini datang dari sektor ekspor dan impor diamana ekspor nonmigas ke Amerika Serikat menurut laporan Biro Pusat Statistik (BPS) terkini menunjukkan kinerja yang membaik dan perkembangan tersebut ditunjukkan dengan adanya kenaikan pada nilai ekspor nonmigas. Nilai pada bulan Juli dilaporkan dapat mencapai nilai 1482.3 juta Dollar AS .

Pada pada bulan sebelumnya ekspor nonmigas ke negara tersebut hanya mencapai nilai 1284.6 juta Dollar AS. Dengan demikian kinerja ekspor nonmigas pada periode tersebut mengalami peningkatan sebesar + 197.7 juta Dollar AS, atau naik sebesar + 15.39 %.

Data terkini dari Biro Pusat Statistik juga menunjukkan bahwa ekspor nonmigas dari awal tahun ini sampai bulan Juli secara total mencapai angka 9026.6 juta Dollar AS. Perkembangan tersebut menunjukkan adanya kenaikan sebesar + 290.70 juta Dollar AS atau menguat sekitar + 3.32 %, dimana pada periode yang sama tahun lalu hanya mencapai nilai 8735.9 juta Dollar AS.

Perkembangan impor nonmigas dari negara asal Amerika Serikat mengacu kepada laporan Biro Pusat Statistik (BPS) terkini menunjukkan meningkat. Perkembangan ini ditunjukkan dengan adanya kenaikan pada nilai impor nonmigas dari negara tersebut dimana nilai pada bulan Juli dilaporkan dapat mencapai angka sekitar 818.9 juta Dollar AS (CIF).

Sementara itu kinerja impor nonmigas pada bulan sebelumnya hanya mencapai nilai 742 juta Dollar AS . Dengan demikian kinerja impor nonmigas pada rentang waktu Januari – Juli  mengalami peningkatan sebesar + 76.9 juta Dollar AS, atau sekitar + 10.36 %.

Laporan terkini dari Biro Pusat Statistik juga menunjukkan bahwa impor nonmigas dari awal tahun ini sampai bulan Juli secara total mencapai nilai 5380.8 juta Dollar AS. Data ini menunjukkan adanya penurunan sebesar  -1239.3 juta Dollar AS atau sekitar  -18.72 %, dimana pada periode yang sama tahun lalu hanya mencapai nilai 6620.1 juta Dollar AS.

Analis ekonomi Vibiz Research dari Vibiz Consulting mengemukakan bahwa Dollar Amerika Serikat  terpantau bergerak terangkat naik sangat tajam sekitar 19.11 % terhadap mata uang Rupiah pada perdagangan valas sejak awal Januari sampai dengan hari ini, sementara itu kurs BI (jual) Dollar Amerika Serikat dengan rate Bank Indonesia  terkini berada pada kisaran Rp. 11593/USD dan kurs BI (beli) sekitar Rp. 11477/USD.

Senin, 16 September 2013

Akankah Terulang Krisis Ekonomi Indonesia Tahun 1997-1998?

Sebelum melihat kabar ekonomi mengenai bagaimana prospek dan potensi terulangnya krisis seperti pada tahun 1997-1998, ada baiknya kita melihat terlebih dahulu asal mula atau indikasi terjadinya krisis pada tahun 1997-1998.

Krisis 1997 Bermula dari Thailand
Krisis finansial yang melanda Asia pada tahun 97-98 bermula dari ulah spekulan terhadap mata uang Thailand, yakni Baht. Pada bulan Mei 1997, Baht terkena serangan para spekulan, namun pemerintah Thailand memutuskan untuk tidak akan mendevaluasi mata uangnya.

Namun untuk mempertahankan nilai mata uangnya, diperlukan cadangan devisa yang besar dan cadangan devisa dari Thailand pada saat itu ternyata tidak kuat untuk mendukung sistem mata uang “mengambang terkendali” yang dianut Thailand, sehingga pada bulan Juli 1997 akhirnya pemerintah Thailand harus mengubah sistem mata uangnya menjadi free-float market.

Pada akhirnya, mata uang Thailand Baht terdevaluasi tajam terhadap US Dollar dan mencapai angka terendah senilai 56 Baht per 1 USD pada bulan Januari 1998.

Hal inilah yang menjadi awal mula krisis finansial di Thailand, yang pada akhirnya menyebar ke beberapa negara Asia lainnya, salah satunya adalah Indonesia yang terkena imbasnya secara sangat signifikan.

Spekulan Merajalela, Indonesia Terancam
Saat ini, ulah spekulan tampaknya kembali menampakkan dirinya, seiring dengan glontoran dana stimulus secara besar-besaran oleh AS dalam rangka menanggulangi krisis pada tahun 2008 silam, negara-negara berkembang di Asia tidak terkecuali Indonesia telah kebanjiran “hot money” atau “uang panas”.

Namun saat ini, indikasi cukup kuat bahwa bank sentral AS akan mulai menarik program stimulusnya, sehingga hal ini membuat para spekulan berbondong-bondong menarik investasinya dari Indonesia. Ulah spekulan inilah yang akhirnya mengakibatkan mata uang Rupiah terdevaluasi tajam saat ini.

Baru spekulasi saja, Rupiah sudah tersungkur, apalagi jika The Fed nanti memang jadi melaksanakan rencana penarikan program stimulusnya pada bulan September 2013 mendatang, maka tidak menutup kemungkinan kalau nasib mata uang Rupiah akan cukup mengenaskan. Hingga akhir bulan Agustus 2013 ini, nilai spot Rupiah saja sudah diperdagangkan di kisaran Rp 10.945 per USD.

Layaknya seperti Thailand pada tahun 1997, cadangan devisa dari Indonesia saat ini dinilai tidak akan kuat untuk menopang pelemahan nilai tukar Rupiah secara terus menerus. Dibulan Juni 2013 saja, cadangan devisa Indonesia sudah menurun ke bawah level 100 miliar USD dan di bulan Juli 2013 dilaporkan sudah menyusut hingga tersisa sekitar 92 miliar USD.

Jika Rupiah terus terdevaluasi, maka ekonomi Indonesia akan kembali terancam dilanda krisis, terutama perusahaan-perusahaan dalam negeri yang mempunyai utang yang besar dalam bentuk US Dollar. Jika perusahaan-perusahaan tersebut pada akhirnya banyak yang bangkrut, hal ini akan berakibat melonjaknya tingkat pengangguran secara signifikan dan mengikis daya beli masyarakat.

Pada akhirnya, hal tersebut berujung ke tidak berputarnya roda perekonomian, dengan kata lain terjadi krisis ekonomi.
Sebagai informasi, sebelum krisis tahun 1997 terjadi, nilai tukar Rupiah berada di kisaran 2600 Rupiah per USD. Krisis yang bermula dari Thailand ini akhirnya mengakibatkan Rupiah jatuh hingga ke level 11000 Rupiah per USD pada 9 Januari 1998, bahkan nilai spot Rupiah sempat diperdagangkan pada kisaran 15000 per USD pada paruh pertama tahun 1998.

Krisis finansial ini mengakibatkan Indonesia kehilangan hampir 14% dari GDP-nya di tahun 1998 dan terjadi inflasi besar-besaran hingga mencapai 77% di tahun 1998.

Maka kesimpulannya, sangat penting saat ini bagi pemerintah Indonesia untuk menciptakan kebijakan-kebijakan yang efektif dalam rangka stabilisasi nilai tukar Rupiah. Jika pemerintah Indonesia gagal mempertahankan Rupiah, seperti Thailand pada tahun 1997 yang gagal mempertahankan mata uangnya, maka tidak menutup kemungkinan krisis layaknya seperti tahun 1997-1998 bisa saja kembali terjadi di tanah air.Sebelum melihat bagaimana prospek dan potensi terulangnya krisis seperti pada tahun 1997-1998, ada baiknya kita melihat terlebih dahulu asal mula atau indikasi terjadinya krisis pada tahun 1997-1998.

Krisis 1997 Bermula dari Thailand
Krisis finansial yang melanda Asia pada tahun 97-98 bermula dari ulah spekulan terhadap mata uang Thailand, yakni Baht. Pada bulan Mei 1997, Baht terkena serangan para spekulan, namun pemerintah Thailand memutuskan untuk tidak akan mendevaluasi mata uangnya.

Namun untuk mempertahankan nilai mata uangnya, diperlukan cadangan devisa yang besar dan cadangan devisa dari Thailand pada saat itu ternyata tidak kuat untuk mendukung sistem mata uang “mengambang terkendali” yang dianut Thailand, sehingga pada bulan Juli 1997 akhirnya pemerintah Thailand harus mengubah sistem mata uangnya menjadi free-float market.

Pada akhirnya, mata uang Thailand Baht terdevaluasi tajam terhadap US Dollar dan mencapai angka terendah senilai 56 Baht per 1 USD pada bulan Januari 1998.

Hal inilah yang menjadi awal mula krisis finansial di Thailand, yang pada akhirnya menyebar ke beberapa negara Asia lainnya, salah satunya adalah Indonesia yang terkena imbasnya secara sangat signifikan.

Spekulan Merajalela, Indonesia Terancam
Saat ini, ulah spekulan tampaknya kembali menampakkan dirinya, seiring dengan glontoran dana stimulus secara besar-besaran oleh AS dalam rangka menanggulangi krisis pada tahun 2008 silam, negara-negara berkembang di Asia tidak terkecuali Indonesia telah kebanjiran “hot money” atau “uang panas”.

Namun saat ini, indikasi cukup kuat bahwa bank sentral AS akan mulai menarik program stimulusnya, sehingga hal ini membuat para spekulan berbondong-bondong menarik investasinya dari Indonesia. Ulah spekulan inilah yang akhirnya mengakibatkan mata uang Rupiah terdevaluasi tajam saat ini.

Baru spekulasi saja, Rupiah sudah tersungkur, apalagi jika The Fed nanti memang jadi melaksanakan rencana penarikan program stimulusnya pada bulan September 2013 mendatang, maka tidak menutup kemungkinan kalau nasib mata uang Rupiah akan cukup mengenaskan. Hingga akhir bulan Agustus 2013 ini, nilai spot Rupiah saja sudah diperdagangkan di kisaran Rp 10.945 per USD.

Layaknya seperti Thailand pada tahun 1997, cadangan devisa dari Indonesia saat ini dinilai tidak akan kuat untuk menopang pelemahan nilai tukar Rupiah secara terus menerus. Dibulan Juni 2013 saja, cadangan devisa Indonesia sudah menurun ke bawah level 100 miliar USD dan di bulan Juli 2013 dilaporkan sudah menyusut hingga tersisa sekitar 92 miliar USD.

Jika Rupiah terus terdevaluasi, maka ekonomi Indonesia akan kembali terancam dilanda krisis, terutama perusahaan-perusahaan dalam negeri yang mempunyai utang yang besar dalam bentuk US Dollar. Jika perusahaan-perusahaan tersebut pada akhirnya banyak yang bangkrut, hal ini akan berakibat melonjaknya tingkat pengangguran secara signifikan dan mengikis daya beli masyarakat.

Pada akhirnya, hal tersebut berujung ke tidak berputarnya roda perekonomian, dengan kata lain terjadi krisis ekonomi.
Sebagai informasi, sebelum krisis tahun 1997 terjadi, nilai tukar Rupiah berada di kisaran 2600 Rupiah per USD. Krisis yang bermula dari Thailand ini akhirnya mengakibatkan Rupiah jatuh hingga ke level 11000 Rupiah per USD pada 9 Januari 1998, bahkan nilai spot Rupiah sempat diperdagangkan pada kisaran 15000 per USD pada paruh pertama tahun 1998.

Krisis finansial ini mengakibatkan Indonesia kehilangan hampir 14% dari GDP-nya di tahun 1998 dan terjadi inflasi besar-besaran hingga mencapai 77% di tahun 1998.

Maka kesimpulannya, sangat penting saat ini bagi pemerintah Indonesia untuk menciptakan kebijakan-kebijakan yang efektif dalam rangka stabilisasi nilai tukar Rupiah. Jika pemerintah Indonesia gagal mempertahankan Rupiah, seperti Thailand pada tahun 1997 yang gagal mempertahankan mata uangnya, maka tidak menutup kemungkinan krisis layaknya seperti tahun 1997-1998 bisa saja kembali terjadi di tanah air.